AKADEMIKA

WWF Indonesia dan PPIIG UPR Gelar Diseminasi Hasil Kajian Terkait Perubahan Iklim

31
×

WWF Indonesia dan PPIIG UPR Gelar Diseminasi Hasil Kajian Terkait Perubahan Iklim

Sebarkan artikel ini
Kegiatan Diseminasi Hasil Kajian WWF Indonesia bekerja sama dengan PPIIG-UPR, Kamis (26/09/2024).

PALANGKARAYA – Pusat Pengembangan Iptek dan Inovasi Gambut Universitas Palangka Raya (PPIIG-UPR) bekerjasama dengan WWF menggelar Diseminasi Hasil Kajian dan penelitian mendalam, terkait ‘Tingkat Kesejahteraan Masyarakat dan Ketahanan Sosio-Ekologis terhadap Perubahan Iklim di Sebangau- Katingan dan Tata Kelola Kebakaran Hutan di KHG Sebangau-Katingan dan KHG Sebangau-Kahayan’, Kamis (26/9/2024).

Community Forestry Specialist WWF Indonesia, Didiek Surjanto megatakan kegiatan ini merupakan upaya WWF untuk mendiseminasikan atau menyebarluaskan hasil riset yang dilakukan bersama PPIIG UPR.

“Kita mau melihat tingkat kesejahteraan masyarakat dari level yang sejahtera, bukan dari level kemiskinan. Dalam penelitian ini, kami ingin mengetahui definisi sejahtera langsung dari masyarakat,” ucapnya.

Didiek menjelaskan, kesejahteraan masyarakat yang berada di atas rata-rata garis kemiskinan, dapat dilihat dari berbagai indikator, misalnya kondisi rumahnya seperti apa, makannya seperti apa, serta masih ada lagi indikator lainnya.

Kemudian, kedua berkaitan dengan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim, dalam hal ini melihat kondisi masyarakat terhadap lingkungannya. Mengingat, masyarakat dan lingkungan akan selalu berinteraksi, karena mereka mencari makan dari lingkungan sekitarnya.

“Penyebarluasan hasil riset ini ditujukan kepada masyarakat itu sendiri, instansi pemerintah yang relevan dan juga kepada akademisi, supaya mereka bisa mendapatkan inspirasi, serta membuka wacana bagaimana masyarakat bisa lebih tahan lagi terhadap perubahan iklim,” ujarnya.

Didiek menambahkan adapun alasan pihaknya melakukan riset ini, pertama mengingat WWF Indonesia dan PPIIG merupakan lembaga yang konsen terhadap kelestarian lingkungan.

“Nah, kelestarian lingkungan tentunya tidak terlepas dari masyarakat karena mereka ini akan selalu saling berinteraksi dengan lingkungan sekitar,” tuturnya.

Menurut Didiek, masyarakat di pedesaan merupakan masyarakat yang berada di garis depan yang bersentuhan langsung dengan lingkungan, dan sebagaimana diketahui bersama bahwa akhir-akhir ini lingkungan mengalami perubahan iklim.

Misalnya, di daerah Kamipang-Katingan yang beberapa waktu lalu sempat mengalami banjir, tentunya itu menunjukkan adanya perubahan lingkungan, hal itu akan berdampak dan menganggu berbagai aspek kehidupan, termasuk aktifitas ekonomi masyarakat.

“Melalui hasil riset ini, diharapkan dapat menjadi rekomendasi untuk stakeholder terkait, baik itu dari pemerintah dalam menentukan sejumlah regulasi yang berkaitan dengan lingkungan, ataupun melalui sejumlah instansi dalam menentukan sejumlah program-program pemerintah yang tepat sesuai dengan kondisi perubahan lingkungan sekarang ini,” harapnya.

Sementara itu, Wakil Direktur PPIIG UPR, Dhanu Pitoyo menyampaikan kajian resiliensi atau studi tentang kebertahanan masyarakat itu, tidak bisa digeneralisasikan.

“Jadi, setiap studi ekosistem itu memiliki spesifikasi kajian masing-masing. Sehingga, ketika pemerintah ingin membuat regulasi harus benar-benar melihat apa yang saat ini sedang dibutuhkan oleh masyarakat,” ujarnya.

Dhanu mengungkapkan, ada 3 ekosistem yang diteliti, yakni Hutan bukan Dataran Rendah, Krangas dan Gambut. Dimana, masing-masing ekosistem ini memiliki tingkat aktifitas yang berbeda-beda.

Misalnya, di kawasan ekosistem gambut, pihaknya ingin mengembangkan produk turunan ikan sehingga tingkat kesejahteraannya itu bisa stabil.

Kemudian, di kawasan ekosistem Krangas, contohnya di Pulau Malan, pihaknya ingin mengembangkan produk turunannya bukan ikan, tapi serai dari perkebunan.

Sedangkan, di kawasan ekosistem Hutan bukan Dataran Rendah, pihaknya ingin mengembangkan produk turunannya buah-buahan.

“Jadi polanya berbeda-beda dan aktifitas masyarakatnya pun berbeda-beda dan tidak dapat digeneralisasikan. Sehingga, kebertahanannya juga berbeda-beda. Jika berbicara se-Kalteng, tentunya itu akan berbeda-beda karena ekosistemnya pun berbeda-beda,” tandasnya. (ys)

+ posts