PALANGKARAYA – Universitas Palangka Raya bersama Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah menggelar Seminar Ilmiah bertajuk “Optimalisasi Pendekatan Follow the Asset dan Follow the Money melalui Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam Penanganan Perkara Pidana.” Seminar ini berlangsung di Palangka Raya, Senin (25/08/2025), sekaligus memperingati Hari Lahir Kejaksaan RI ke-80.
Rektor Universitas Palangka Raya, Prof. Dr. Ir. Salampak, M.S., menyampaikan apresiasinya terhadap inisiatif tersebut. Menurutnya, forum semacam ini menjadi ruang penting untuk mempertemukan akademisi dan praktisi hukum dalam mencari solusi inovatif.
“Melalui seminar ini kita tidak hanya berbicara konsep, tetapi juga berbagi pengalaman dan strategi implementasi. Saya percaya, kolaborasi antara akademisi, penegak hukum, dan pemangku kepentingan adalah kunci keberhasilan menghadapi tantangan hukum yang semakin kompleks,” ujar Salampak, Senin (25/08/2025).
Kepala Kejaksaan Tinggi Kalteng, Agus Sahat ST Lumban Gaol, S.H., M.H., menekankan pentingnya memahami DPA sebagai pendekatan baru dalam penyelesaian perkara pidana.
“Walaupun tidak disebut eksplisit dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023), namun UU No. 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025-2045 menegaskan DPA sebagai mekanisme penegakan hukum. Pendekatan Follow the Asset dan Follow the Money melalui DPA ini sangat relevan untuk memberantas tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Agus juga menuturkan bahwa DPA memberikan alternatif proses hukum yang lebih solutif. Mekanisme ini memungkinkan korporasi untuk memperbaiki diri dengan memenuhi sejumlah syarat yang ditentukan.
“DPA pada dasarnya penangguhan penuntutan pidana dengan ketentuan tertentu. Jika korporasi sanggup menjalankan kewajibannya sesuai kesepakatan dengan jaksa penuntut, maka perkara bisa diselesaikan tanpa peradilan penuh,” imbuhnya.
Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Dr. Pujiastuti Handayani, yang juga hadir sebagai narasumber, menegaskan bahwa penerapan DPA harus tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan. Ia menekankan perlunya peran pengawasan yudisial.
“Penerapan DPA tidak boleh hanya berorientasi pada efisiensi, tetapi juga harus menjamin keadilan bagi masyarakat. Pengawasan dari lembaga peradilan menjadi penting agar mekanisme ini tidak disalahgunakan,” katanya.
Sementara itu, Dr. Kiki Kristanto, S.H., M.H., akademisi hukum pidana sekaligus Koordinator Program Studi Magister Ilmu Hukum UPR, menilai seminar ini sebagai sarana edukasi yang bermanfaat bagi mahasiswa.
“Mahasiswa hukum perlu memahami perkembangan hukum pidana yang dinamis, termasuk kehadiran DPA. Diskusi seperti ini sangat strategis untuk membentuk kesiapan intelektual mereka menghadapi kasus nyata,” ungkapnya.
Sebanyak 80 mahasiswa Fakultas Hukum UPR turut serta dalam seminar ini dengan antusias tinggi. Diskusi berjalan interaktif dengan berbagai pertanyaan kritis dari peserta.
“Semoga hasil dari seminar ini menjadi inspirasi bagi generasi muda hukum untuk terus berkontribusi dalam penegakan hukum yang lebih modern dan berintegritas,” tandas Kiki. (Red/Adv)