TELUK SAMPIT, Ujung Pandaran – Ada tempat di mana waktu tidak berjalan cepat, di mana angin mengisahkan cerita lama, dan pasir menjadi alas pijak perenungan. Di sudut selatan Kotawaringin Timur, Pantai Ujung Pandaran hadir sebagai ruang sunyi yang memeluk siapa pun yang datang mencari jeda.
Desa Ujung Pandaran mungkin jauh dari keramaian, namun justru di situlah letak pesonanya. Butiran pasir putihnya bukan hanya indah dipandang, tetapi juga menyimpan kelembutan yang menenangkan. Berjalan tanpa alas kaki di atasnya serasa seperti menghapus beban yang menumpuk di kepala.
Kayu-kayu besar yang berserakan di tepi pantai menambah kesan alami, bukan mengganggu tapi justru memperkaya pemandangan. Mereka datang dari laut, terbawa ombak besar, lalu mendarat dan menetap seperti ingin menjadi bagian dari lanskap abadi.
Senja di Ujung Pandaran bukan hanya peristiwa harian. Ia adalah penutup hari yang agung, dengan matahari tenggelam perlahan, menciptakan warna-warna hangat yang menenangkan hati. Di momen itu, banyak orang mendadak diam. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena tak ingin mengganggu keindahan yang terjadi.
Tiap tahun, pantai ini juga menjadi tempat berlangsungnya ritual Simah Laut. Tradisi tolak bala ini dijalankan penuh khidmat oleh para nelayan. Pantai dibersihkan, sesaji disiapkan, dan kemudian dilarung sebagai doa agar laut memberi perlindungan dan hasil melimpah.
Simah Laut bukan sekadar seremoni, tetapi jembatan antara manusia dan semesta. Laut bukan hanya medan rezeki, tapi juga sahabat yang patut dihormati.
Di Ujung Pandaran, Anda tidak hanya melihat keindahan. Anda merasakannya, menyerapnya, dan membawanya pulang. Karena setiap angin yang berembus di sini seolah membawa pesan: “Tenanglah, hidup tak selalu harus tergesa.” (*)